Bijih Nikel Kadar Rendah, Perhapi Desak Pemerintah Turun Tangan
Bisnis.com, JAKARTA - Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) mendesak pemerintah untuk turun tangan terkait menumpuknya bijih nikel kadar rendah yang tidak bisa dimanfaatkan di dalam negeri.
Ketua Perhapi Tino Ardhyanto mengatakan bijih nikel kadar rendah tersebut kini hanya menjadi tumpukan (stockpile) saja. Padahal, komoditas tersebut masih bernilai apabila diekspor.
"Sekarang ada bijih kadar rendah yang kita tumpuk. Dari sisi ekonomi ada inventory cost yang harus dibayar. Kalau dari sisi teknis, ada kemungkinan terjadi penurunan kadar dan kualitas," katanya kepada Bisnis.com, Jumat (2/12/2016).
Menurutnya, selama ada permintaan di dalam negeri dengan harga yang wajar, perusahaan tambang akan lebih memilih untuk menjual produksi untuk smelter di Indonesia. Namun, tidak ada smelter yang mau menyerap bijih nikel berkadar rendah.
Kalaupun ada, harga yang diminta oleh perusahaan smelter jauh di bawah ongkos produksi dari tambang.
Oleh karena itu, Tino mendesak pemerintah untuk bertindak cepat dalam menyelesaikan permasalahan tersebut. Salah satunya bisa melalui pemberian insentif dengan membuka keran ekspor bijih nikel berkadar rendah secara terbatas dan dalam jangka waktu tertentu.
"Kalau diekspor yang jelas akan ada pemasukan dari pajak ekspor, pajak penjualan, dan lain-lain. Intinya pemerintah dan perusahaan bisa membicarakan apa yang bisa saling diberikan," tuturnya.
Pemerintah menutup keran ekspor mineral mentah, termasuk bijih nikel, sejak Januari 2014. Namun, pemerintah tengah mengkaji kembali seluruh kebijakan terkait ekspor mineral tersebut jelang jatuh tempo ekspor mineral olahan atau konsentrat pada 12 Januari 2017.
"Dua belas Januari ini menjadi momentum pemerintah untuk melakukan pembenahan," tutup Tino.
Polemik Freeport Indonesia dengan pemerintah kini sudah mereda. Hal tersebut ditandai dengan hadirnya CEO Freeport McMoran Richard Adkerson yang bertemu Menteri ESDM Ignasius Jonan untuk mencabut rencana gugatan arbitrase dari Freeport.
SEKITAR 60 ribu hektare lahan di Provinsi Bangka Belitung sudah sangat kritis dan lebih dari 150 ribu hektare kritis akibat aktivitas pertambangan timah.
Pemerintah tengah memfokuskan pengembangan industri berbasis smelter khususnya berbasis bijih nikel dan stainless steel di kawasan Indonesia Timur. Salah satu fokus pengembangan adalah Kawasan Industri Morowali yang dikelola oleh PT Indonesia Morowali Industrial Park (PT IMIP), berlokasi di Kabupaten Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah.