Bisnis.com, JAKARTA - Emiten pertambangan PT Cita Mineral Investindo Tbk. mengantongi pinjaman dari konsorsium perbankan untuk modal kerja dan refinancing senilai US$425 juta, setara Rp5,65 triliun.
Yusak Lumba Pardede, Direktur Cita Mineral Investindo, mengatakan pinjaman dikantongi oleh anak usaha perseroan, PT Well Harvest Winning Alumina Refinery (WHW), yang memiliki pabrik pengolahan pemurnian bauksit menjadi smelter grade alumina (SGA).
Fasilitas pinjaman senior facilities agreement (SFA) diteken oleh WHW pada 12 Desember 2016. Pemberi pinjaman dilakukan oleh konsorsium perbankan, yakni Bank of China Limited-Singapore Branch, DBS Bank Limited, Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesiaa, Oversea-Chinese Banking Corporation Limited, dan PT Bank OCBC NISP Tbk.
"Nilai fasilitas maksimum US$425 juta," katanya dalam keterbukaan informasi di PT Bursa Efek Indonesia, Rabu (14/12/2016).
Pinjaman tersebut memiliki dua tranche. Bunga tranche 1 bagi onshore lenders pada tahun ke 1-3 dipatok 4,25% per tahun dan setelah tahun ke-3 memiliki kupon 4,5% per tahun. Bagi offshore lenders, kupon tahun ke 1-3 dipatok 3,75% per tahun dan setelahnya 4% per tahun.
Kupon bunga pada tranche 2 bagi onshore lenders pada tahun ke 1-3 dipatok 4% per tahun dan setelahnya 4,25% per tahun. Lalu, bagi onshore lenders pada tahun ke 1-3 dipatok 3,5% per tahun, serta setelahnya 3,75% per tahun.
Perseroan akan menggunakan dana hasil pinjaman untuk mendukung operasional, pembiayaan modal kerja, project cost, dan refinancing entitas asosiasi.
Manajemen emiten bersandi saham CITA tersebut berharap positif dengan kembali beroperasinya tambang, serta berlanjutnya ekspor hasil pemurnian bauksit berupa SGA. Terutama setelah mendapat suntikan dana dari perbankan.
Polemik Freeport Indonesia dengan pemerintah kini sudah mereda. Hal tersebut ditandai dengan hadirnya CEO Freeport McMoran Richard Adkerson yang bertemu Menteri ESDM Ignasius Jonan untuk mencabut rencana gugatan arbitrase dari Freeport.
SEKITAR 60 ribu hektare lahan di Provinsi Bangka Belitung sudah sangat kritis dan lebih dari 150 ribu hektare kritis akibat aktivitas pertambangan timah.
Pemerintah tengah memfokuskan pengembangan industri berbasis smelter khususnya berbasis bijih nikel dan stainless steel di kawasan Indonesia Timur. Salah satu fokus pengembangan adalah Kawasan Industri Morowali yang dikelola oleh PT Indonesia Morowali Industrial Park (PT IMIP), berlokasi di Kabupaten Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah.