logo
Short Landscape Advertisement Short ~blog/2022/2/1/pak prihadi
Bersama Kita Membangun Kemajuan Industri Smelter Nasional
News

Aturan Ekspor Berubah-ubah Bingungkan Pengusaha

Aturan Ekspor Berubah-ubah Bingungkan Pengusaha
Industri tambang global langsung merespons perubahan kebijakan ekspor tambang RI. Aturan ekspor baru meresahkan perusahaan asing yang telah berinvestasi smelter.

JAKARTA - Perubahan kebijakan pemerintah Indonesia tentang ekspor mineral mentah dinilai tidak terduga, dan peraturan yang gampang berubah itu membingungkan perusahaan pertambangan dalam menerapkan strategi bisnis.

Selain itu, aturan mengenai relaksasi ekspor mineral mentah tersebut, setelah beberapa tahun dilarang, bakal melemahkan semangat hilirisasi industri pertambangan yang bertujuan meningkatkan nilai tambah ekspor nasional.

Pengamat Ekonomi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Fahmi Radhi, mengungkapkan bahwa relaksasi ekspor membuat gairah industri yang telah membangun smelter menurun.

“Industri harus menanggung kerugian karena nilai tambah yang diperoleh sangatlah sedikit, jauh bila dibandingkan dengan mengekspor dalam bentuk mentah,” papar dia ketika dihubungi, Minggu (15/1).

Sebelumnya, Ketua Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I), Jonatan Handojo, mengatakan keputusan pemerintah itu berpotensi menurunkan reputasi Indonesia di mata dunia karena peraturan yang gampang berubah begitu saja.

“Perusahaan-perusahaan Tiongkok yang paling tidak akan senang karena mereka telah berinvestasi sekitar 16 miliar dollar AS untuk membangun smelter yang telah beroperasi,” kata Handojo, seperti dikutip Reuters, pekan lalu.

Sebagaimana dikabarkan, Menteri ESDM, Ignasius Jonan, mengumumkan pemerintah Indonesia melalui PP No 1 Tahun 2017 akan memberi kelonggaran ekspor mineral mentah dengan beberapa persyaratan. Ada tiga persyatan yang harus dipenuhi agar perusahaan tambang dapat mengekspor mineral dalam bentuk konsentrat.

Pertama, perusahaan tambang yang memiliki kontrak karya harus mengubah izinnya menjadi IUPK (Izin Usaha Pertambangan Khusus). IUPK berlaku selama lima tahun dan dapat diperpanjang maksimal sebanyak dua kali.

Kedua, perusahaan tambang yang memiliki IUPK wajib membangun smelter dalam waktu lima tahun. Ketiga, perusahaan tambang juga wajib melakukan divestasi hingga 51 persen secara bertahap dalam waktu sepuluh tahun.

Menurut Jonan, PP itu konsisten dengan UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara yang mendorong terwujudnya pembangunan fasilitas pemurnian di dalam negeri.

“Tujuan PP ini diterbitkan untuk meningkatkan terciptanya penerimaan negara, terciptanya lapangan kerja yang lebih baik, mendukung mempertahankan pertumbuhan ekonomi di daerah yang ada pertambangannya, menjaga iklim investasi yang bagus,” papar dia.

Reaksi Global

Sementara itu, aturan pemerintah Indonesia yang memperbolehkan ekspor bijih nikel dan bauksit berlebih pada 11 Januari 2017, dan menghapus sebagian kebijakan larangan yang pernah dibuat pada 2014, memunculkan reaksi pelaku bisnis tambang global. Citigroup Inc menilai potensi ekspor bijih nikel mengancam harga nikel global.

Selain itu, seperti dikutip Bloomberg, akhir pekan lalu, harga saham Nikel Asia Corp, produsen terbesar di Filipina, turun 14 persen. Begitu juga harga saham perusahaan Jepang, Sumitomo Metal Mining Co dan GMK Norilsk Nickel PJSC. Perubahan peraturan itu juga meresahkan investor Tiongkok yang telah memompa uang dalam jumlah besar untuk pengembangan industri smelter Indonesia.

Di lain sisi, perubahan kebijakan itu dinilai akan menguntungkan BUMN tambang, PT Aneka Tambang Tbk (Antam), yang telah melobi agar larangan ekspor itu dibuka. Antam memiliki cadangan bijih nikel lebih dari 20 juta ton, setara dengan sekitar 235 ribu ton nikel. BUMN itu berpeluang mengekspor 70 ribu ton bijih nikel per tahun yang berasal dari pasokan dan pembukaan kembali tambangnya.

Hasil tambang Antam kemungkinan besar akan jatuh ke tangan produsen nickel pig iron (NPI) Tiongkok dan bersaing dengan ekspor dari Filipina yang telah mengganti ekspor Indonesia sejak larangan ekspor mineral mentah diberlakukan. Tambahan pasokan ini bisa menurunkan biaya produsen NPI, yang menjadi penentu utama dari harga nikel di London Metal Exchange (LME).

Manajemen Antam mengatakan hal itu akan membantu meningkatkan arus kas dan meningkatkan pembiayaan untuk proyek smelter. Hasilnya harga saham Antam langsung melonjak.

Menurut Macquarie Group Ltd, kebijakan larangan ekspor mineral mentah telah menjadi berkah bagi produsen pesaing untuk memasarkan produknya. Filipina menjadi pemasok nikel terbesar dan pengekspor terbesar ke Tiongkok.

Analis Morningstar Sydney, Mathew Hodge, mengatakan, “Hal ini berdampak negatif bagi produsen Australia. Para produsen telah berhimpun, apalagi Tiongkok yang telah berinvestasi sebelum larangan tersebut diperkenalkan.” SB/ers/Rtr/WP