logo
Short Landscape Advertisement Short ~blog/2022/2/1/pak prihadi
Bersama Kita Membangun Kemajuan Industri Smelter Nasional
News

Berkompromi dengan Industri

Berkompromi dengan Industri
Penerbitan Peraturan Pemerintah No. 1/2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara idealnya menjadi jalan tengah untuk merangsang tata kelola industri yang efektif.

Perusahaan tambang berstatus kontrak karya spontan mendapat angin segar setelah pemerintah memutuskan untuk membuka kembali penjualan konsentrat ke luar negeri selama lima tahun ke depan. Untuk melakukan ekspor, pemerintah hanya mensyaratkan tiga hal bagi perusahaan tambang.

Ketiga syarat itu ialah mengubah Kontrak Karya (KK) menjadi Pemegang Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), memberikan komitmen membangun smelter, dan membayar bea keluar maksimum 10% sesuai progres fisik dan realisasi keuangan pembangunan smelter.

Ketetapan yang sama memungkinkan sekitar 34 perusahaan kontrak karya di Tanah Air untuk mengajukan perpanjangan izin paling cepat lima tahun sebelum kontrak berakhir. Selain itu, PP tersebut juga menghapus ketentuan bahwa pemegang KK yang telah melakukan pemurnian dapat melakukan penjualan hasil pengolahan dalam jumlah dan waktu tertentu.

Di sisi lain, bagi Pemegang Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) masih dimungkinkan untuk mengekspor konsentrat maksimal lima tahun dengan sejumlah persyaratan. Dengan ketentuan itu, para pemegang KK mendapatkan ‘keistimewaan’ berupa pengajuan permohonan perpanjangan operasi dan kuota ekspor mineral olahan alias konsentrat setelah mengubah statusnya menjadi IUPK.

Pasalnya, secara otomatis perusahaan KK yang mengubah statusnya tersebut akan mengikuti seluruh peraturan yang diterbitkan pemerintah (prevailing). Dengan demikian, perusahaan KK seperti PT Freeport Indonesia dan PT Amman Mineral Nusa Tenggara—sebelumnya bernama PT Newmont Nusa Tenggara—harus mengubah statusnya terlebih dahulu dari KK menjadi IUPK sebelum bisa mengajukan permohonan rekomendasi ekspor konsentrat.

Freeport misalnya, mengaku siap untuk mengubah status dari Kontrak Karya menjadi IUPK. Freeport berharap kesediaan perusahaan untuk mengubah status dapat diikuti oleh perjanjian stabilisasi invetasi.

Pada kesempatan yang sama, selain memberikan kesempatan perusahaan tambang untuk mengekspor beberapa jenis mineral olahan, pemerintah juga membuka kembali keran ekspor nikel dan bauksit setelah sempat ditutup selama tiga tahun.

Hal itu diatur dalam Peraturan Menteri ESDM No. 5/2017 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri.

Dalam beleid tersebut, ekspor bauksit dan nikel dengan kadar rendah diperbolehkan dengan berbagai persyaratan. Nikel yang boleh diekspor hanya yang berkadar kurang dari 1,7% dan bauksit yang telah dilakukan pencucian (washed bauxite) dengan kadar Al2O3 lebih dari atau sama dengan 42% digolongkan dalam mineral logam dengan kriteria khusus.

Pemegang izin usaha pertambangan (IUP) operasi produksi nikel wajib memanfaatkan nikel kadar rendah tersebut minimal 30% dari total kapasitas smelter yang dimiliki. Setelah terpenuhi, pemegang IUP bisa melakukan ekspor bijih nikel kadar rendah tersebut dalam jumlah tertentu selama lima tahun.

Sementara itu, pemegang IUP operasi produksi bauksit yang telah melakukan pencucian dan telah atau sedang membangun smelter pun bisa mengekspor komoditasnya maksimal lima tahun sejak peraturan itu terbit. Baik nikel maupun bauksit akan dikenakan bea keluar apabila diekspor.

Pemerintah berpendapat ekspor bijih nikel dan bauksit dengan persyaratan menyuplai minimal 30% untuk smelter bakal mendorong pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian kedua komoditas mineral itu di Tanah Air.

Menteri ESDM Ignasius Jonan mengatakan, pemerintah akan tegas untuk tidak memberikan rekomendasi ekspor nikel dan bauksit jika perusahaan tidak memenuhi persyaratan tersebut. “Kami akan evaluasi terus setiap enam bulan.”

Sejauh ini ada 12 smelter nikel yang beroperasi. Dalam dua hingga tiga tahun mendatang, rencananya akan ada tambahan 10 smelter lagi. Kapasitas smelter nikel yang telah beroperasi sekitar 17 juta ton per tahun yang terdiri dari 10 juta ton nikel berkadar di bawah 1,7%.

Untuk bauksit, saat ini sudah ada dua smelter yang beroperasi dengan kapasitas input 2 juta ton. Salah satu perusahaan yang sudah membangun smelter bauksit yakni PT Well Harvest Winning Alumina Refinery.

Jonan meyakini, tanpa adanya regulasi tersebut, percepatan penambahan kapasitas smelter dalam negeri khususnya untuk nikel dan bauksit tidak akan terwujud. Padahal, kapasitas produksi bijih dalam negeri masih jauh di atas input smelter.

"Smelter kami dorong untuk ekspansi kapasitas supaya bisa menyerap ore di dalam negeri."

Apabila kapasitas smelter di dalam negeri terus meningkat, dengan sendirinya tidak akan ada lagi perusahaan tambang yang ingin mengekspor komoditas mineral logamnya dalam bentuk bijih. Pasalnya, dimungkinkan adanya peningkatan nilai tambah terlebih dahulu di dalam negeri.

Kebijakan tersebut sudah sesuai dengan semangat UU No. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Indonesia didorong menjadi negara industri yang mampu meningkatkan nilai tambah komoditas tambang melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian.

Kendati keran ekspor nikel dan bauksit terbuka, Kementerian ESDM tetap akan mengatur kuota penjualan masing-masing komoditas tersebut. Jumlahnya akan disesuaikan dengan berapa banyak bijih nikel kadar rendah dan bauksit yang diserap oleh smelter di dalam negeri.

REAKSI INDUSTRI

Jonatan Handojo, Wakil Ketua Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I), mengatakan industri pengolahan dan pemurnian akan semakin terjepit dengan keluarnya PP No. 1/2017. Padahal, selama ini pemerintah telah berusaha mengembangkan industri pengolahan dan pemurnian di dalam negeri untuk mempercepat hilirisasi.

“Kami sudah menderita karena harga nikel yang turun, dan masih harus ditambah dengan PP No. 1/2017 ini,” katanya kepada Bisnis, Senin (16/1).

Jonatan menilai PP No. 1/2017 akan menjadi dasar bagi penambang lokal untuk menjual seluruh hasil tambangnya ke luar negeri, sehingga membuat industri pengolahan dan pemurnian di dalam negeri kekurangan pasokan.

Pelaku usaha pertambangan jelas akan lebih menyukai ekspor yang menghasilkan pendapatan dalam mata uang dolar Amerika Serikat, dibandingkan dengan menjualnya ke pabrik pengolahan dan pemurnian dengan rupiah.

Hal itu tentu juga akan membuat pelaku usaha industri pengolahan dan pemurnian yang telah menanamkan modalnya di Indonesia marah. Aturan yang melonggarkan ekspor mineral mentah atau konsentrat memunculkan ketidakpastian bagi iklim investasi pengolahan dan pemurnian di dalam negeri.

Selain itu, Jonatan mengkhawatirkan kebocoran dari beleid yang baru saja diterapkan oleh pemerintah tersebut.

Dia memberikan contoh betapa sulitnya membedakan nikel ore berkadar 1,7% dengan 2,2% yang masuk ke dalam kategori high grade. Hal itu dapat dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk mengeluarkan hasil tambang dengan kualitas tinggi ke luar negeri.

“Sulit membedakan nikel ore low grade dengan high grade, karena warnanya sama dan bentuknya sama-sama tanah. Apalagi pertambangan itu umumnya di daerah remote, siapa yang mau melakukan uji laboratorium di sana?”

Budi Santoso, Direktur Centre for Indonesian Resources Strategic Studies (Cirus), mengatakan penerapan PP No. 1/2017 tidak berpengaruh banyak terhadap program hilirisasi nasional yang telah lama dicanangkan.

“Aturan yang baru hanya menunda program hilirisasi selama lima tahun, dan memberikan peluang untuk mengekspor mineral mentah bagi penambang dengan hasil berkadar rendah.”

Menurutnya, PP No. 1/2017 tidak memberi dampak banyak kepada pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang sudah lama beroperasi, kecuali mendapatkan perpanjangan ekspor mineral mentah selama lima tahun.

“Penundaan lima tahun itu sebenarnya tidak ada artinya, karena seluruh yang diatur masih sama.”