logo
Short Landscape Advertisement Short ~blog/2022/2/1/pak prihadi
Bersama Kita Membangun Kemajuan Industri Smelter Nasional
News

Ekspor Mineral Mentah Kembali Dibuka, Ini Penjelasan ESDM

Ekspor Mineral Mentah Kembali Dibuka, Ini Penjelasan ESDM
Jakarta - Pasca berakhirnya relaksasi ekspor konsentrat (mineral yang sudah diolah tetapi belum sampai tahap pemurnian) per 11 Januari 2017, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 (PP 1/2017), Peraturan Menteri ESDM Nomor 5 Tahun 2017 (Permen ESDM 5/2017), dan Peraturan Menteri ESDM Nomor 6 Tahun 2017 (Permen ESDM 6/2017).

Aturan baru ini dikritik. Ada yang menilai kebijakan baru sebagai langkah mundur. Sebab, bukan hanya konsentrat saja yang bisa ekspor, aturan-aturan baru ini membuka kembali keran ekspor beberapa komoditas mineral mentah (ore) yang sebelumnya ditutup pada 11 Januari 2014.

Permen ESDM 5/2017 membuka peluang ekspor bijih nikel dengan kadar di bawah 1,7 persen (kadar rendah) dan bauksit yang telah dicuci (washed bauxite) dengan kadar A12O3 lebih dari 42 persen yang tidak terserap oleh smelter (fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral) di dalam negeri.

"Permen ESDM 5/2017 isinya apa saja yang boleh dijual ke luar negeri. Di lampiran disebut semua. Juga diatur komoditi mineral tertentu," kata Dirjen Minerba Kementerian ESDM, Bambang Gatot Aryono, dalam diskusi di Hotel JS Luwansa, Jakarta, Sabtu (21/1/2017).

Ia beralasan, smelter-smelter di dalam negeri kebanyakan hanya mengolah nikel berkadar di atas 1,7 persen dan bauksit dengan kadar A12O3 lebih dari 42 persen. Akibatnya nikel kadar rendah dan bauksit berkadar A12O3 di atas 42 persen terbuang percuma.

"Sebagian besar smelter di Indonesia menyerap nikel high grade, yang low grade jadi enggak terserap," tuturnya.

Menurut Bambang, daripada jadi sampah yang tak bernilai, lebih baik diekspor saja dan menghasilkan penerimaan untuk negara.

"Masa yang tidak dipakai, tidak boleh dijual? Daripada dibuang bgitu saja kenapa tidak dijual? Mineral selama di dalam tanah tidak bernilai ekonomi. Dia bermanfaat kalai ditambang atau digali dari dalam bumi," paparnya.

Tapi bukan berarti pemerintah tak mendorong kedua komoditas itu untuk dimurnikan di dalam negeri. Permen ESDM 5/2017 mewajibkan smelter nikel menyerap nikel kadar rendah hingga 30 persen dari kapasitas smelter.

"Makanya di Permen ESDM 5/2017 wajib diserap 30 persen minimum," ucapnya.

Izin ekspor bijih nikel kadar rendah dan bauksit pun hanya diberikan kepada perusahaan tambang yang telah membangun smelter. Pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) diberi waktu 5 tahun untuk menyelesaikan smelternya.

Jumlah bijih nikel dan bauksit yang boleh diekspor dibatasi sesuai dengan kapasitas smelter yang dibangun dan jumlah cadangan di wilayah pertambangan.

Pembangunan smelter dievaluasi terus tiap 6 bulan. Begitu tidak ada progres, maka izin ekspor langsung dicabut.

"Penjualan-penjualan itu dihubungkan dengan pembangunan smelter. Kalau enggak bangun smelter, enggak bisa ekspor. Kita awasi, terus, tiap 6 bulan dievaluasi oleh verifikator independen," cetus Bambang.

Ekspor kedua jenis mineral mentah ini dikenakan bea keluar (BK) sampai 10 persen. Jika perusahaan tambang tak segera melakukan pemurnian, mereka akan sangat terbebani. "Ekspor itu dikenakan BK, cukup besar, sampai 10 persen. Jadi pengusaha tambang suffer kalau enggak bangun smelter. Dia royalti sudah 10 persen, tambah BK 10 persen," ucapnya.

Bambang menggarisbawahi, pemerintah tidak melangkah mundur. Pembukaan kembali ekspor mineral mentah tertentu dilakukan untuk mendorong kembali pembangunan smelter yang belum terlaksana dengan baik.

"Pemerintah harus berpikir, kalau ingin dikembangkan (hilirisasi mineral) harus ada perpanjangan, coba diberi waktu lagi. Tujuan kita adalah smelter itu jadi. Pemerintah ingin smelter terbangun 5 tahun ke depan. Jangan dibayangkan akan ada ekspor nikel dan bauksit besar-besaran," tutupnya. (mca/hns)