logo
Short Landscape Advertisement Short ~blog/2022/2/1/pak prihadi
Bersama Kita Membangun Kemajuan Industri Smelter Nasional
News

Industri Tambang Berada di Ujung Tanduk?

Industri Tambang Berada di Ujung Tanduk?
JAKARTA, JITUNEWS.COM- Perlambatan ekonomi dunia telah membuat permintaan komoditas barang tambang menurun. Akibatnya, harga jual komoditas tersebut anjlok. Lalu, apakah riwayat industri tambang tamat? Hasil riset Pricewaterhouse Coopers (PwC) pada 2016 menyebutkan, sebanyak 40 perusahaan tambang global mengalami kerugian terbesar sepanjang sejarah selama 2015.

Pada tahun itu, mereka menderita kerugian 27 milliar dollar AS atau setara sekitar Rp 364,5 triliun dengan kurs Rp 13.500 per dollar AS. "Tahun lalu merupakan tahun penuh tantangan bagi sektor pertambangan," ujar Global Mining Leader di PwC Jock O’Callaghan, Rabu (8/6) lalu.

Pada tahun ini, harga komoditas tambang pun kembali turun 25 persen dibanding tahun lalu. Agar bisa bertahan, perusahaan tambang berusaha meningkatkan produktivitasnya. Namun, ada pula yang melepas aset atau menutup usahanya.

Setali tiga uang, kondisi serupa juga terjadi di Indonesia. Anjloknya harga komoditas tambang dan menurunnya permintaan bahan tambang dari China, berdampak buruk bagi kinerja keuangan perusahaan pertambangan dalam negeri.

Sacha Winzenried, Lead Adviser for Energy, Utilities & Mining PwC Indonesia mengatakan, kapitalisasi pasar perusahaan pertambangan nasional yang tercatat di Bursa Efek Indonesia menurun.

Pada 31 Desember 2015 nilai kapitalisasi perusahaan tambang nasional di pasar modal Rp 161 triliun, turun jauh bila dibandingkan pada 31 Desember 2014 yang mencapai Rp 255 triliun. “Serupa dengan perusahaan pertambangan global, perusahaan pertambangan di Indonesia akan terus berfokus pada produktivitas, pengurangan biaya, dan disiplin modal selama masa sulit industri ini,” kata Winzenried, Rabu (8/6).

Krisis di industri tambang tak pelak membuat Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sektor mineral dan batubara (minerba) ikut turun. “PNBP pertambangan minerba (pada 2015) terkumpul Rp 18,8 triliun, angka itu di bawah tahun lalu yang sebesar Rp 19,3 triliun,” kata Bambang PS Brodjonegoro saat masih menjabat sebagai Menteri Keuangan, Kamis(28/1).

Realisasi PNBP pertambangan minerba pun, kata Bambang, meleset jauh dari target Rp 31,7 triliun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015.

Peluang tetap ada

Namun, sejarah masih terus mencatat, sejumlah perusahaan tambang tetap beroperasi dan bahkan menangguk untung hingga sekarang. PT Antam (persero) Tbk, misalnya.

Agar bisa bertahan industri tambang dalam negeri mau tak mau harus melakukan efisiensi dan berinovasi. Antam membuktikan, kedua "jurus" itu menjadi cara mereka keluar dari kondisi sulit dan kerugian besar.

Seperti dirilis di situs web antam.com, Senin(31/10), salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini bahkan sudah mencatatkan laba bersih Rp 38,3 milliar per kuartal III/2016. Padahal, pada periode yang sama pada 2015, perusahaan ini rugi Rp 1,04 triliun.

Usut punya usut, perusahaan ini menggeber sejumlah strategi yang berbuah catatan kinerja positif tersebut. Manajemen bahan bakar, ada di antaranya.

Meski terdengar sederhana, lanjut Dimas, metode pembelian seperti itu dapat memperpanjang napas Antam untuk menjalankan bisnis. Proses produksi dapat berjalan tanpa mengeluarkan uang terlebih dahulu. Dalam mengolah mineral mentah, ungkap Dimas, Antam lebih banyak menggunakan MFO sebagai bahan bakar, karena harganya relatif lebih murah dibandingkan solar industri.

Selain itu, pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batubara berkapasitas 2x30 Megawaat (MW) di Pomalaa, Sulawesi Tenggara, diperkirakan mampu menurunkan biaya produksi feronikel Antam. Selain efisiensi, inovasi terus pula digenjot Antam. Misalnya, sebut Dimas, Antam mengubah tujuan utama ekspor feronikel—bahan dasar stainless steel—dari semula ke Eropa dan Amerika menjadi fokus ke China. “Kalau kami kirim ke Eropa, contohnya Jerman, kami baru bisa menerima uang setelah 90 hari pengiriman. Namun, kalau ekspor ke China dalam waktu 30 hari sudah menghasilkan uang,“ ujar Dimas.

Dengan begitu, tambah Dimas, perputaran uang Antam jadi lebih cepat. Biaya ekspedisi pun bisa berkurang sehingga dapat menghemat pengeluaran perusahaan, karena China lebih dekat dengan Indonesia daripada Eropa dan Amerika.

Profit Antam ditopang pula oleh kecenderungan naiknya harga emas dunia. “Dari Januari sampai September 2016, nilai emas sudah naik 25 persen. Kalau awal tahun ada di angka berkisar 1.000 dollar AS per troy ounce (setara sekitar 31,1 gram), sampai akhir September kemarin sudah menyentuh 1.300 dollar AS per troy ounce,“ ujar Dimas.

Meski demikian, lanjut Dimas, inovasi juga terus perusahaannya kembangkan untuk produk emas. Kalau dahulu Antam hanya menjual emas batangan dengan desain standar yang cenderung polos, kini sudah ada emas batangan bermotif batik dan perhiasan. “Dengan desain menarik dikombinasikan elemen-elemen lain seperti batu permata, orang akan memilih membayar ekstra untuk mendapatkannya,” kata Dimas. Peluang pun tak lalu serta-merta hilang meski berada di situasi sulit, bukan?