Pak Jokowi, Pengembangan Hilirisasi Tambang Butuh Kemudahan | News Update | AP3I
News
Pak Jokowi, Pengembangan Hilirisasi Tambang Butuh Kemudahan
Jakarta, CNBC Indonesia - Dalam beberapa waktu terakhir ini, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) sempat meluapkan amarahnya atas kegiatan ekspor mineral mentah yang kerap menguntungkan pihak luar negeri. Maka dari itu, Jokowi bertekad, secara bertahap akan menyetop kegiatan ekspor mineral mentah tersebut.
Dimulai dari nikel yang saat ini sudah disetop ekspornya, sampai pada bijih bauksit yang katanya kegiatan ekspornya akan mulai disetop pada tahun 2022 ini, serta tembaga pada tahun 2023 dan timah pada tahun 2024.
Sejatinya, pelarangan ekspor merupakan mandat dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba). Yang mana disebutkan bahwa kegiatan ekspor mineral mentah berhenti pada tahun 2023 seiring dengan pengembangan hilrisasi melalui pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral (smelter).
Kelak, smelter-smelter itulah yang akan menyerap mineral mentah untuk dijadikan barang jadi yang memiliki nilai tambah. Lalu bagaimana perkembangan pembangunan smelter tersebut?
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat, dari rencana 53 smelter itu, dalam catatan Kementerian ESDM sampai pada tahun 2021 kemarin baru terbangun sekitar 21 smelter. Adapun di tahun ini Kementerian ESDM menargetkan akan menambah 7 smelter baru. Artinya di tahun 2022 ini penyelesaian smelter baru mencapai 28 dan masih jauh dari target 53 smelter.
Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi), Rizal Kasli menyatakan, dalam hal menarik investor khususnya pengembangan smelter itu, pemerintah harus mendorong dan memberikan kemudahan bagi investasi.
"Sehingga perusahaan yang ada itu bisa bekerjasama dengan investor dari luar negeri terutama yang memiliki teknologi dalam hal pengolahan pembangunan smelter sehingga bisa direalisasikan," terang Rizal Kepada CNBC Indonesia.
Rizal menyatakan, supaya pengembangan pembangunan smelter bisa berjalan sesuai yang ditargetkan, memungkinkan untuk pemerintah memberikan insentif berupa fiskal maupun non fiskal. "Pemberian insentif itu perlu dilakukan yang lebih detil dan evaluasi yang lebih mendalam," terang dia.
Selain itu, bagi pengusaha pertambangan yang sedang membangun smelter, kata Rizal juga membutuhkan relaksasi berupa pelonggaran ekspor. Hal ini agar pengembang juga bisa secepatnya mendapatkan pendanaan dalam membangun smelter tersebut.
"Karena memang paling gampang mendapatkan profit itu dari ekspor bahan mentah, tetapi kebijakan pemerintah untuk meningkatkan nilai tambah dalam negeri lebih tidak bisa dihindari sehingga pengusaha harus mempersiapkan diri, misalnya dengan membangun smelter atau bekerjasama dengan investor baik dalam maupun luar negeri," tandas Rizal.