logo
Short Landscape Advertisement Short ~blog/2022/2/1/pak prihadi
Bersama Kita Membangun Kemajuan Industri Smelter Nasional
News

Perdagangan Saling Menguntungkan

Perdagangan Saling Menguntungkan
Genderang perang dagang yang ditabuh Amerika Serikat dan Tiongkok bisa mengganggu laju pemulihan ekonomi global ke depan, termasuk Indonesia, yang semula diproyeksikan lebih baik. Maklum, kedua raksasa dunia ini menguasai 40% lebih ekonomi global. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia harus segera melakukan langkahlangkah antisipasi agar tidak merugikan ekonomi nasional, atau bahkan bisa memperkuat posisi kita.

Jika dilihat dari data International Monetary Fund, AS hingga kini masih menguasai produk domestik bruto (PDB) tertinggi, menembus US$ 23,51 triliun tahun lalu berdasarkan harga berlaku. RRT menyusul ketat negara adidaya ini, dengan PDB sebesar US$ 18,38 triliun.

Alhasil, mbah-nya kapitalis dan mbah-nya komunis itu menguasai 40% lebih ekonomi dunia yang mencapai US$ 103,20 triliun. Sementara itu, ekonomi RI masih jauh di bawahnya, hanya sekitar US$ 1,58 triliun.

Persaingan kedua negara tersebut sebenarnya sudah lama terjadi. Namun, tensi langsung panas sejak Presiden AS Donald Trump masuk White House. Pengusaha properti dunia itu bahkan sejak kampanye sudah mencanangkan perang melawan Tiongkok, yang selama ini dituding menjadi ikon perdagangan tidak fair. Taipan tersebut menyebut, salah satu penyebab masalah ekonomi AS adalah membanjirnya produk RRT dan ia menjanjikan pemilih untuk merebut kembali pekerjaan bagi rakyat Amerika. Exit poll CNN mencatat, isu efek perdagangan internasional yang tak adil ini ikut andil dalam kesuksesan Trump menundukkan hati publik Negeri Paman Sam.

Akhirnya, perang terbuka pun pecah, dengan pemerintahan Trump pekan lalu memberlakukan bea masuk 15% atas beberapa produk baja dan aluminium RRT. Mereka juga mengumumkan rencana penerapan tarif baru yang tinggi untuk barang-barang impor asal Tiongkok senilai US$ 60 miliar, plus membidik sektor-sektor yang dianggap telah dirampok kekayaan intelektualnya oleh Negeri Panda itu. Bahkan, AS menegaskan bahwa hal ini baru gelombang pertama dari banyak aksi selanjutnya.

Tentu saja, RRT tidak tinggal diam. Negeri Tirai Bambu yang kini menjelma menjadi produsen manufaktur terbesar dunia itu balik mengancam. Tiongkok akan membalas dengan mengenakan tarif tinggi atas US$ 3 miliar barangbarang impor AS, seperti daging babi dan kedelai.

Meski demikian, jalan belum sepenuhnya buntu. Masih ada kesempatan sekitar sebulan bagi wakil-wakil kedua negara untuk melakukan negosiasi, sebelum kebijakan baru itu diterapkan secara menyeluruh. Menurut pejabat kementerian perdagangan AS, kemungkinan ada lebih dari 1.000 produk RRT yang akan dikenakan bea masuk. Sebaliknya, Tiongkok mengidentifikasi ada 128 produk AS yang diimpor ke negara itu yang bisa terkena tarif impor tinggi, jika tidak tercapai kesepakatan kedua pihak.

Tentu saja, pertarungan dua ‘gajah’ ini bisa menimbulkan dampak serius bagi Indonesia. Kondisi perang yang berlanjut jelas berisiko memicu lagi pelemahan ekonomi dunia, termasuk RI. Kekhawatiran tersebut jelas tercermin pada gonjang-ganjingnya pasar keuangan global, terutama di emerging markets, seperti negeri ini.

Di tengah meningkatnya ketidakpastian, arus investasi berbalik ke instrumen yang cenderung aman (safe haven), seperti dolar AS dan emas. Lihat saja, indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia kemarin masih terhempas, demikian pula indeks SSE Shanghai (Tiongkok) dan indeks FTSE 100 Malaysia.

Di sektor riil, perang dagang AS dengan Tiongkok juga bisa memicu banjirnya baja murah RRT yang tak bisa masuk Amerika. Secara keseluruhan, mengingat tidak ketatnya pemerintah Indonesia menjaga pasar dalam negeri, hal ini dikhawatirkan memperlebar defisit dagang Indonesia dengan RRT. Sebab, Tiongkok tentu mencari pasar lain untuk menyalurkan barang-barang produksinya, tak mungkin begitu saja membiarkan pabrik-pabrik tutup.

Padahal, defisit perdagangan Indonesia dengan Tiongkok tahun lalu saja sudah mencapai US$ 12,7 miliar. Jumlah ini lebih besar dari total surplus neraca perdagangan RI dengan dunia yang hanya sebesar US$ 11,8 miliar. Sedangkan perdagangan kita dengan AS membukukan surplus sekitar US$ 9,4 miliar atau terbesar kedua, setelah surplus dengan India.

Oleh karena itu, pertama-tama, Indonesia harus melindungi industri dalam negeri dari serbuan barang impor Tiongkok, yang bukan tidak mungkin menerapkan taktik ‘banting harga’ atau bahkan kecurangan dumping. Setidaknya perlu diwaspadai aksi dumping dan dikenakan sanksi tegas antidamping, jika ada indikasi perdagangan tidak fair tersebut.

Dalam masalah ini, kerja sama pemerintah bersama asosiasi industri mutlak diperlukan, termasuk membuka pintu pengaduan langsung bagi industry dalam negeri yang dirugikan. Selain itu, impor ilegal harus ditindak tegas sebelum mendarat di Indonesia, termasuk ditenggelamkan kapal-kapal penyelundupnya. Perusahaan importirnya juga wajib dicabut izin usahanya, termasuk perusahaan induk dan afiliasinya dapat sanksi keras. Pasalnya, kejahatan ini sangat serius, karena akan membunuh industri nasional dan menimbulkan terror atas bangsa kita yang tengah berjuang meningkatkan investasi dan membangun industri untuk memangkas pengangguran maupun kemiskinan.

Berikutnya, pemerintah RI juga harus menggedor Tiongkok untuk mengedepankan perdagangan yang saling menguntungkan, baik lewat negosiasi ulang perjanjian perdagangan bebas bersama Asean maupun secara bilateral. Sebagai salah satu mitra utama yang menjalin hubungan sangat baik dengan Tiongkok, pemerintah Indonesia harus mendesakkan keadilan dengan bersama-sama memangkas defisit perdagangan dengan Tiongkok yang sangat besar, mencapai US$ 12,7 miliar atau tertinggi dibanding dengan negara-negara lain.

Caranya, misal, Tiongkok membuka lebih lebar masuknya minyak sawit dari Indonesia, yang merupakan jenis minyak nabati paling kompetitif dan produktif di seluruh dunia, mengalahkan minyak kedelai. Hal ini juga untuk mengantisipasi kerugian akibat dihambatnya ekspor komoditas andalan RI itu ke AS dan Uni Eropa.

Upaya lain, Indonesia perlu menegosiasikan peningkatan investasi Tiongkok ke Tanah Air, terutama untuk komoditaskomoditas yang bisa diekspor ke Negara dengan penduduk sekitar 1,4 miliar itu. Ini misalnya investasi di peternakan ikan, babi, dan udang yang bernilai tambah tinggi.

Di sisi lain secara bersamaan, kita juga bisa bernegosiasi dengan AS untuk membuka peluang lebih besar ekspor ke negara itu. Ekspor aluminium ke AS yang mencapai sekitar 31% dari total ekspor aluminium RI masih bisa ditingkatkan, mengingat industri otomotif AS juga butuh pasokan pengganti aluminium Tiongkok yang dikenakan tarif tinggi oleh Trump.

Dalam masalah ini, juga ada keuntungan yang bakal dinikmati pihak RRT secara tidak langsung, mengingat perusahaan aluminium asal Tiongkok ikut berinvestasi puluhan triliun rupiah untuk membangun smelter di Indonesia. Kita juga tidak perlu ‘mengemis’, karena industri aluminium kita sudah kelas dunia. (*)